Monday, September 19, 2016

Metode Analisis Data

3.5.1 Uji Kualitas Data
Kualitas atas data yang dihasilkan dari penggunaan instrumen penelitian dapat dievaluasi melalui uji yang meliputi:

3.5.1.1 Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk menunjukkan semua item pertanyaan memiliki hasil yang signifikan dan dapat membedakan item tersebut buruk (drop) atau baik (valid). Dengan demikian item yang valid adalah item yang memilki korelasi positif yang tinggi antara skor item dengan skor total responden. Uji validitas yang sering digunakan adalah korelasi Bivariate Pearson (Produk Moment Pearson). Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tarafsignifikansi 0,05. Kriteria pengujian sebagai berikut :
  1. Jika r hitung > r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka item - item pertanyaan berkorelasi signifikan terhadap skor atau nilai total (dinyatakan valid).
  2.  Jika r hitung < r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka item - item pertanyaan tidak berkorelasi signifikan terhadap skor atau nilai total (dinyatakan tidak valid/drop).

3.5.1.2 Uji Reliabilitas
Realibilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau kontrsuk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2013). Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Cronbach’s Alpha (α), dimana suatu instrumen dapat dikatakan handal (reliabel), bila memiliki Cronbach’s Alpha ≥ 0,6 (Priyatno, 2010).

3.5.2 Uji Asumsi Klasik
Ghozali (2013) mengemukakan bahwa pengujian asumsi klasik dimaksudkan untuk memastikan bahwa di dalam model regresi yang digunakan tidak terdapat multikolonieritas dan heteroskedastisitas serta untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan berdistribusi normal. Pengujian asumsi klasik dalam penelitian ini meliputi:

3.5.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel independen, variabel dependen maupun keduanya dari suatu model regresi memiliki distribusi data normal atau mendekati normal (Malissa, 2009). Pengujian normalitas data dalam penelitian ini dengan melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal berupa garis lurus diagonal dan ploting data residual akan dibandingkan dengan garis tersebut. Jika distribusi normal, maka penyebaran titik - titik akan berada di sekitar garis diagonalnya. Pengujian kedua adalah yang menggunakan uji statistik dengan melihat kurtosis dan skewness dari residual dengan rumus:
                       



                     K – 0
Zkurtosis = --------------
                         √24/n
 
                         S – 0
Zskewness = --------------
                         √6/n
 
 






Dimana:
S          : Nilai Skewness
N         : Jumlah Kasus
K         : Nilai Kurtosis
Jika dari hasil nilai z hitung < z tabel ± 2,58 (signifikan 0,01) atau ± 1,96 (signifikan pada alpha 0,05) maka data tersebut berdistribusi normal (Ghozali, 2013).

3.5.2.2 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan antar variabel independen dalam model regresi. Menurut Ghozali (2013) model regeresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Jika variebel independen saling berkorelasi maka variabel - variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolineritas dapat dilihat dari nilai tolerance dan variance inflation factor (VIF). Nilai cut off yang umum digunakan untuk mendeteksi adanya multikolonieritas adalah tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10. Jika tolerance < 0,10 atau nilai VIF > 10 mengindikasikan terjadi multikolonieritas (Ghozali, 2013).

3.5.2.3 Uji Heterokedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji ini dilakukan dengan mengamati pola tertentu pada grafik scatter-plot, dimana bila ada titik - titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y serta tidak membentuk pola maka tidak terjadi heteroskedasitisitas.
Namun, untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, Uji yang akan dilakukan adalah uji Glejser dengan melihat signifikansi korelasi nilai residual, bila nilai tersebut diatas 0,05 atau 5%, maka model regresi bebas dari asumsi heterokedastisitas (Ghazali, 2013).

3.5.2.4 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya) (Ghozali, 2013). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Dikarenakan penelitian ini bukan menggunakan data runtut waktu (time series) maka penelitian ini tidak memerlukan uji autokolerasi.

3.5.3 Uji Regresi Berganda
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda. Menurut Sugiyono (2016) analisis regresi ganda digunakan oleh peneliti, bila peneliti bermaksud meramalkan bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel dependen, bila dua atau lebih variabel independen sebagai faktor prediktor dimanipulasi (dinaik turunkan nilainya). Analisis regresi berganda ini dilakukan dengan bantuan software Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 23 for Windows.

3.5.4 Pengujian Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan uji F dan uji t-test guna melihat pengaruh diantar variabel baik secara simultan maupun parsial.

3.5.4.1 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Rentang nilai koefisien determinasi antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel - variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel - variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2013).

3.5.4.2 Uji Signifikan Simultan (Uji-F)
Uji-F dilakukan untuk menunjukkan apakah semua variabel independen mempunyai pengaruh secara simultan (bersama - sama) terhadap variabel dependen secara signifikan. Uji ini menggunakan uji ANOVA dan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
Jika F hitung > F tabel (α = 5%) atau Sig < 0,05 maka H0 ditolak.
Jika F hitung < F tabel (α = 5%) atau Sig > 0,05 maka H0 diterima.
Jika F hitung lebih besar daripada F tabel maka terdapat pengaruh yang signifikan dari keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan, tetapi bila F hitung lebih kecil daripada F tabel maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan. Nilai F tabel dapat dilihat di tabel F sesuai dengan degree of freedom dan signifikansinya (Priyatno, 2010).

3.5.4.3 Uji Signifikansi Parsial (Uji-t)
Uji t (t-test) dalam penelitian ini untuk menguji yang menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara parsial (individu) dalam menerangkan variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan menggunakan significance level 0,05 (α=5%). Penerimaan atau penolakan hipotesis dilakukan dengan kriteria sebagai berikut :
Jika t hitung > t tabel (α = 5%) atau Sig < 0,05 maka H0 ditolak.
Jika t hitung < t tabel (α = 5%) atau Sig > 0,05 maka  H0 diterima.

Jika t hitung lebih besar daripada t tabel maka terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen, tetapi bila t hitung lebih kecil daripada t tabel maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari keseluruhan variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen. Nilai t tabel dapat dilihat di tabel t dengan menggunakan signifikansi dan degree offreedom yang sesuai (Priyatno, 2010).

Thursday, September 1, 2016

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia






Korupsi merupakan masalah kriminal yang belum terselesaikan selama 71 tahun Indonesia telah merdeka. Korupsi sudah menjadi penyakit sosial yang sangat berbahaya dan menggurita menyebabkan kerugian keuangan negara dari segi materiil dan berdampak sangat besar dalam menghambat pembangunan Indonesia. Menurut perspektif hukum, pengertian Korupsi menurut Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sehingga dapat disimpulkan, korupsi adalah perbuatan melawan hukum berupa kecurangan yang melalaikan kewajiban dan memanfaatkan wewenang yang dimiliki dengan tujuan memperkaya diri demi kepentingan keuntungan diri sendiri atau kelompoknya.


Siapa saja yang bisa digolongkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi? Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang dapat digolongkan sebagai pelaku korupsi yaitu (1) Pegawai Negeri, meliputi: Pegawai Negeri Sipil, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat; (2) Korporasi, yaitu kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum; (3) Setiap orang, yaitu orang-perseorangan atau termasuk korporasi.

Banyaknya kasus - kasus korupsi yang merugikan negara terungkap di tahun 2014 seperti Bailout Bank Century, kasus – kasus suap dan korupsi yang melibatkan banyak pejabat – pejabat tinggi negara seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia, Menteri Pemuda dan Olahraga, Ketua Mahkamah Konstitusi, Gubernur Provinsi Banten dan Riau, Bupati Bogor, Ketua Satuan Kerja Khusus Migas, Deputi Bank Indonesia, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Petinggi Polri serta masih banyak lagi kasus - kasus lain baik yang telah terungkap dan dalam tahap pengadilan maupun yang masih dalam proses penyidikan.

Tabel 1.1
Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan yang Ditangani oleh KPK
Tahun 2010 – 2015
Jabatan Pelaku
Tahun / Jumlah Kasus
Total Berdasarkan Jabatan Pelaku
(2004 - 2015)
2010
2011
2012
2013
2014
2015
PNS
Eselon I/II/III
12
15
8
7
1
7
124
Hakim
1
2
2
3
2
3
13
Jumlah Pelaku PNS
137
Non PNS tetapi menerima gaji atau upah dari Keuangan Negara
Anggota DPR dan DPRD
27
5
16
8
3
19
101
Kepala Lembaga/ Kementerian
2
0
1
4
8
3
23
Duta Besar
1
0
0
0
0
0
4
Komisioner
0
0
0
0
0
0
7
Gubernur
1
0
0
2
2
4
17
Walikota/ Bupati dan Wakil
4
4
4
3
8
4
49
Jumlah Pelaku Non PNS
201
Swasta tetapi menerima bantuan dari keuangan Negara
Swasta
8
10
16
24
12
18
128
Lainnya
9
3
3
8
5
5
53
Jumlah Pelaku Swasta
181
Total Berdasarkan Tahun
65
39
50
59
41
63
519
Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi (http://acch.kpk.go.id/) (2016)

Dapat dilihat pada tabel 1.1 diatas, korupsi di Indonesia sudah merajalela dan mewabah hampir di seluruh instansi publik di seluruh birokrat pemerintahan. Pejabat – pejabat tinggi yang telah diambil sumpahnya untuk membaktikan dirinya dalam membangun bangsa dan seharusnya menjadi panutan malah menjadi pelaku korupsi utama. Hal itu bisa terjadi karena korupsi tercipta secara sistematis terjadi baik pejabat dari tingkat pusat dan daerah serta tingkat atas hingga bawah menyebabkan persepsi bahwa korupsi dianggap menjadi tindakan wajar dan biasa. Selain itu, hampir sudah tidak ada lagi rasa malu bagi pihak yang terkena dan tersangkut kasus korupsi mencerminkan rendahnya moralitas yang dimiliki. Bahkan organisasi swasta, non pemerintah, turut bermain mata, kongkalikong, bila berurusan dengan instansi/pegawai pemerintah dan itu sudah dianggap wajar guna memuluskan keperluannya. Transparency International (TI) yang merupakan organisasi masyarakat sipil global yang didirikan pada tahun 1993 dengan tujuan memimpin perjuangan gerakan anti korupsi, membawa dan meningkatkan kesadaran bersama - sama dalam menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas dari korupsi mengeluarkan hasil data Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks ini menggunakan definisi korupsi sebagai kejahatan penyalahgunaan jabatan oleh pegawai negeri dan kaum politisi untuk kepentingan pribadi yang datanya didapatkan dari pandangan beberapa lembaga - lembaga bereputasi seperti Asian Development Bank, World Bank, World Economic Forum dan lainnya yang melakukan kajian mengenai tingkat korupsi di berbagai negara.

Tabel 1.2
Indeks Persepsi Korupsi dari Tahun 2011 - 2015
No
Negara
Skor IPK/ Peringkat Dunia
2011
2012
2013
2014
2015
1
Thailand
3,4 (80)
37 (88)
35 (102)
38 (85)
38 (76)
2
Filiphina
2,6 (129)
34 (105)
36 (94)
38 (85)
35 (95)
3
Indonesia
3,0 (100)
32 (118)
32 (114)
34 (107)
36 (88)
4
Vietnam
2,9 (112)
31 (123)
31 (116)
31 (119)
31 (112)
5
Myanmar
1,5 (180)
15 (172)
21 (157)
21 (156)
22 (147)
6
Laos
2,2 (154)
21 (160)
26 (140)
25 (145)
25 (139)
7
Kamboja
2,1 (164)
22 (157)
20 (160)
21 (156)
21 (150)
8
Malaysia
4,3 (60)
49 (54)
50 (53)
50 (52)
50 (54)
9
Singapura
9,2 (5)
87 (5)
86 (5)
84 (7)
85 (8)
10
Brunei
5,2 (44)
55 (46)
60 (38)
-
-
11
Timor Leste
2,4 (143)
33 (113)
30 (119)
28 (133)
28 (123)
Sumber: Transparency International (http://www.transparency.org/) (2016)


Dalam Tabel 1.2, Penulis mengurutkan nomor kolom berdasarkan lamanya negara tersebut merdeka. Thailand merupakan satu – satunya negara yang tidak pernah dijajah dan Timor Leste merupakan negara termuda yang meraih kemerdekaan. Belum banyak perubahan terjadi, hasil CPI dalam lima tahun terakhir menunjukkan Indeks Indonesia selalu stagnan berada disekitar peringkat 100 kebawah yaitu diantara peringkat 100 hingga 118. Di tahun 2015, skor IPK Indonesia naik tidak begitu banyak tetapi dari segi peringkat naik sangat drastis. Walaupun begitu, Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Malaysia dan Singapura yang berbatasan dekat dan lebih muda dalam meraih kemerdekaan dengan Indonesia. Bahkan bila dibandingkan dengan negara mantan provinsi ke – 27 pun terbilang tidak cukup jauh. Tetapi skor KPI tidak dapat dijadikan tolak ukur dikarenakan skor KPI merekam persepsi dan tidak mudah diubah didasarkan atas rata – rata bergerak tiga tahun terakhir (Tuanakotta, 2014).